KONDISI MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM
SEJARAH PERADABAN ARAB PRA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Zaman sebelum ada Islam sering disebut dengan zaman jahiliyah. Masyarakat
Arab sebelum Islam sering kita sebut dengan masyarakat jahiliyah. Di sini kita
sering mengartikan bahwa masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang bodoh.
Tapi, kita perlu meluruskan maksud dari kata bodoh di sini. Bodoh dalam hal ini
bukan berarti bodoh dalam hal ilmu pengetahuan, tidak bisa menulis dan membaca,
karena masyarakat Arab sebelum Islam merupakan masyarakat yang pandai dalam
membuat syair. Jadi bodoh yang dimaksud di sini adalah bodoh dalam hal agama
dan perilaku.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali
tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam dikenal sebagai
bangsa yang memiliki kemajuan ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan
kota dagang yang sudah bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan posisinya
yang strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung perdagangan dan
jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai masyarakat Arab sebelum Islam, baik
itu dari segi sosial, politik, budaya, agama, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan sosial, kebudayaan, ekonomi,
politik, dan agama bangsa Arab sebelum islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pentingnya
Memahami Kondisi Arab Pra Islam
Pertama-tama yang dimaksud Islam di sini adalah Islam
yang ajarannya diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Islam yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW secara historis sosiologis disampaikan dalam
konteks masyarakat Arab yang tidak hampa. Oleh karena itu, salah satu aspek
penting dalam upaya memahami Islam secara holistik dan komprehensif adalah
dengan memiliki pengetahuan terhadap realitas historis masyarakat di mana Islam
diturunkan. Hal ini tidak lain karena dalam realitasnya Islam tidaklah diturunkan
dalam ruang interaksi dinamis dengan kondisi di sekelilingnya.
Islam muncul tidak lain merupakan sebuah upaya masif
untuk memberikan jawaban terhadap problem-problem kemanusiaan baik yang
menyangkut keyakinan, sosial, politik, ekonomi yang sedang melingkupi
masyarakar Arab pada saat itu.
Aspek historis dalam Islam mempunyai posisi yang sangat
penting. Banyak sekali keilmuan-keilmuan Islam yang sangat berkaitan dengan
aspek ini, sebut saja sebagai misal ilm asbab al-nuzul, ilm al-asbab al-wurud,
israilliyat, dan sebagainya. Keilmuan-keilmuan yang menjadi basis dan pedoman
ajaran Islam dapat dikatakan tidak dapat menafikan aspek yang satu ini.
Pemahaman konteks masyarakat sebelum kedatangan islam,
memiliki peran penting setidaknya sebagai wahana kita memahami bahwa hadirnya
islam memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan. Meskipun dalam beberapa
hal ajaran-ajaran islam memiliki kesinambungan dengan ajaran yang diturunkan
kepada Nabi sebelumnya, namun bisa dipastikan bahwa ajaran Islam memiliki kontribusi
yang penting dalam membangun peradaban manusia.[1]
B.
Keadaan Negeri Arabia
Secara geografis, Jazirah Arab terletak antara benua Asia
dan Afrika, tepatnya di bagian barat daya Asia. Secara bahasa Jazirah berarti
pulau atau semenanjung sedang Arab adalah padang pasir, tanah yang tandus tanpa
ada air. Jadi Jazirah Arab adalah pulau/semenanjung padang pasir yang tandus,
gersang dan udaranya sangat panas serta tidak ada satu sungaipun yang mengalir
di wilayah ini.
Berdasarkan keadaan alam yang beraneka ragam, para ahli
geografi membagi Jazirah Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Arab Petrix (Petraea), yaitu daerah yang
terletak di sebelah barat daya gurun Syiria, dengan Petra sebagai ibukotanya.
2. Arab Deserta, sebuah nama yang diberikan
kepada gurun Syiria itu sendiri.
3.
Arab Felix, yaitu daerah Yaman, disebut juga daerah hijau
(green land).
Sedangkan bila ditinjau dari keadaan tanah, Jazirah Arab
dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1. Thihamah, yaitu daerah yang sangat panas
udaranya.
2. Hujaz, yaitu daerah pemisah antara Thihamah
dan Najd.
3. Najd, yaitu wilayah dataran tinggi.
4. Yaman, yaitu wilayah yang membentang darii
Najd sampai Samudra Hindia dan Laut Merah, dan terhubung sampai Oman sebelah
timur.
5.
‘Arudl, daerahnya melebar dari Yaman, Najd hingga Irak.[2]
Adapun ahli sejarah membagi penduduk Jazirah Arab sebagai
berikut:
1. Arab Baidah
(bangsa Arab yang telah punah)
Yaitu
orang-orang Arab yang telah lenyap jejaknya dan tidak diketahui lagi, kecuali
karena tersebut dalam kitab-kitab suci, seperti kaum ‘Ad dan Samud.[3]
Nabi-nabi Allah
yang diutus kepada Arab Baidah adalah sebagai berikut:
a. Nabi Hud a.s
b. Nabi Saleh a.s
c. Nabi Syi’aib a.s[4]
2. Arab Baqiyah
(bangsa Arab yang masih lestari)
Dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
a. Arab Aribah, yaitu kelompok Qahthan, dan tanah
air mereka yaitu Yaman.
b. Arab Musta’rabah, mereka adalah sebagian besar
penduduk Arabia, dari dusun sampai ke kota, yaitu mereka yang mendiami bagian
tengah Jazirah Arabia dan Negeri Hijaz sampai ke Lembah Syiria.[5]
C. Sejarah Politik
Arab Sebelum Islam
1. Kabilah-kabilah
Badui (pedalaman)
Orang-orang
Badui hidup sebagai kabilah-kabilah kecil yang terpencar di dusun-dusun.
Kesatuan kabilah-kabilah itu diikat oleh ikatan darah dan fanatisme. Maka,
sangatlah sulit membangun ikatan di antara sejumlah besar kabilah itu untuk
bisa membangun sebuah kerajaan.
2. Kerajaan Kindah
(480-529 M)
Satu-satunya
kerajaan yang berdiri di tengah-tengah Jazirah Arab. Namun, kerajaan ini
berumur sangat pendek. Raja pertama kerajaan ini bernama Hajar Akil al-Mirar.
Dia tunduk di bawah kerajaan Himyar di Yaman.
3. Kerajaan-kerajaan
di Perkotaan
a. Kerajaan-kerajaan
di Yaman
1) Kerajaan Ma’in
dan Kerajaan Qatban (1200 SM-700 SM)
Kedua kerajaan ini hidup di satu zaman.
Keduanya adalah kerajaan paling awal di Yaman.
2) Kerajaan Saba’
(955 SM-115 SM)
Berdiri setelah runtuhnya kerajaan Ma’in dan
Qatban. Kerajaan Saba’ juga meliputi Hadharamaut. Ibukotanya adalah Ma’rab.
Kerajaan ini menjadi terkenal disebabkan dua hal, yaitu Ratu Bilqis dan
bendungan Ma’rab yang besar.
3) Kerajaan Himyar
Berdiri setelah runtuhnya kerajaan Saba’ dan
menjadikan Zhafar sebagai ibukotanya. Raja-rajanya menggelari dirinya dengan
Thababi’ah. Saba’ dan Himyar meninggalkan peninggalan-peninggalan yang
menunjukkan keagungan kemajuan yang dicapai dua kerajaan ini.[6]
b. Kerajaan-kerajaan
di Utara Jazirah Arab
1) Kerajaan Anbath
(400 SM-105 SM)
Mereka adalah kebilah yang berada di pedalaman
yang berdiam di bagian selatan Suriah. Kerajaan mereka terentang dari Gaza di
bagian selatan hingga Aqabah di bagian utara. Ibukotanya adalah Betra’.
2) Kerajaan Tadmur
Kerajaan ini dikenal makmur di masa klasik.
Masa keemasannya dicapai pada abad II dan III Masehi. Kerajaan ini memiliki
posisi gografi yang strategis dalam bisnis yang mwnghubungkan antara dua
empirium Romawi dan Persia.
3) Kerajaan Hirah
Mereka adalah orang-orang Arab yang melakukan
hijrah. Kerajaan mereka berdiri di sebalah utara Jazirah Arab (bagian selatan
Irak) dan berada di bawah kekuasaan Persia.
4) Kerajaan
Ghassan
Merekia berasal dari orang Arab asal Yaman
yang melakukan hijrah setelah runtuhnya bendungan Ma’rab-seperti Munadzarah
Hirah. Mereka diam di wilayah pedalaman Syam dan berada di bawah kekuasaan
Romawi yang memberi perlindungan kepada mereka dari serangan orang-orang Arab.
c. Hijaz
Hijaz adalah
tempat pertama dakwah Islam. Di tempat ini Rasulullah lahir dan berkembang.
Hijaz adalah tempat diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Tempat ini
adalah tempat munculnya nur dan cahaya. Dari Hijazlah bergemuruh suara
reformasi dan dakwah Islam. Islam telah mentransformasikan Hijaz dari sebuah
tempat yang hanya disebut Arab menjadi sebuah tempat yang menginternasional.[7]
D. Kondisi Sosial
Politik
Kondisi sosial politik di dunia sebelum kedatangan Islam
diwarnai oleh berbagai intrik politik perebutan pengaruh diantara tiga kekuatan
dunia saat itu yaitu pertama, Kristen Byzantium yang berpengaruh kuat di
sekitar Laut Merah bahkan sampai di Abisinia; kedua, Persia Zoroater, dengan
ibu kota di Ctesiphon di Mesopotamia dan pengaruhnya mencapai sebelah Timur
Arabia dan sepanjang Pantai Selatan Yaman; dan ketiga, Kerajaan Arab Selatan di
bawah kekuasaan Dinasti Himyar. Ketiga kekuatan politik inilah yang secara
masif memberi pengaruh terhadap kondisi dan peta sosial politik di Jazirah
Arab.
Susana sosial politik Arab yang selalu diwarnai oleh
perebutan kekuasaan dan pengaruh di antara suku-suku Arab menjadi semakin
kompleks dengan adanya persaingan dalam konteks keagamaan.
Secara lebih khusus, dengan paradigma al-Qur’an, Watt
melihat bahwasannya pada masyarakat Arab menjelang kedatangan Islam tidak dapat
digolongkan rendah. Beberapa hal yang patut dicatat mengenai kondisi sosial,
budaya dan ekonomi sebelum datangnya islam dan membawa pengaruh dalam pembentukan
tradisi islam.
1. Mekkah sebagai
pusat perekonomian
Mekkah menjadi pusat perekomian disebabkan
oleh posisi geografisnya yang berada di tengah rute perjalanan dagang ditambah
lagi di Mekkah juga ada jaminan keselamatan.
2. Perilaku
terhadap harta benda
Al-Qur’an dengan gamblang menjelaskan terhadap
fenomena ini. Misalnya QS 104:1-3 menyebutkan bahwa para pembangkang yang
senantiasa memfitnah dan mencela Nabi adalah mereka yang tidak hanya menumpuk
harta tetapi juga beranggapan jika harta benda yang mereka kumpulkan itu akan
menjadikan mereka abadi. Bahkan mereka juga beranggapan jika harta mereka mampu
menyelamatkan mereka dari bencana (QS. 6:69).
3. Pengetahuan
tentang Yahudi dan Nasrani
Dikalangan masyarakat Arab kontak dengan
Yahudi dan Nasrani adalah sesuatu yang niscaya. Hal ini tidak lain karena
adanya perjalanan dagang ke kota-kota Nasrani seperti Damaskus dan Gaza.
Penganut kristen terdapat juga di Mekkah, sementara Yahudi terdapat di Madinah
seperti Suku Qoinuqa.[8]
E. Kondisi Sosial
Ekonomi
Kehidupan sosial ekonomi bangsa Arab menjelang lahirnya
Islam sangat ditentukan oleh kondisi dan letak geografis wilayahnya. Bagi
masyarakat Arab pedalaman (Ahlul Badui/Badiyah) hidup berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain mencari tempat yang subur, mereka bertani dan
beternak. Dalam mengelola pertanian para pemilik ladang memakai tiga sistem,
yaitu:
1. Sistem sewa dengan emas atau logam mulia yang
lain, gandum atau hasil pertanian yang lain sebagai alat pembayaran.
2. Sistem bagi hasil.
3.
Sistem pandega.
Sedang yang hidup di perkotaan (Ahlul Hadloroh) mayoritas
mereka berdagang. Penduduk Saba’ dan Yaman adalah yang ahli dalam bidang
perdagangan. Aktivitas berdagang mereka hingga Jazirah Arab. Di sisi lain ada
sebuah wilayah yang menjadi saingan Yaman, yaitu kota Mekah. Mekah merupakan
wilayah yang memiliki letak strategis dalam kegiatan berdagang.[9]
Masyarakat Quraisy berdagang sepanjang tahun. Di musim dingin mereka mengirim
kafilah dagang ke Yaman, sedangkan di musim panas kafilah dagang mereka menuju ke Syiria. Perdagangan
yang paling ramai di Kota Mekah yaitu selama musim “Pasar Ukaz”, yaitu pada
bulan Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram.[10]
F. Kondisi Sosial
Budaya
Jazirah Arab adalah daerah yang sangat gersang. Oleh
sebab itu watak dan karakter penduduknya sangat keras. Di samping karena faktor
geografis, watak merekapun terbentuk karena pola hidup yang selalu
berpindah-pindah (nomaden). Untuk itu dubutuhkan mental dan fisik yang kuat
guna melindungi diri dan kelompoknya dari segala hal yang membahayakan. Kegersangan
daerah ini membuat bangsa-bangsa lain
enggan untuk melakukan perjalanan ke sana. Faktor ini menjadikan bangsa Arab bangsa yang
tidah tersentuh budaya dan pengaruh dari luar. [11]
G. Kondisi
Religius
Menurut Rippin, periode pra-Islam adalah sebuah era yang berbeda
dalam waktu dan etos Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya term “Jahiliyyah”
yang dikenal dalam Islam. Al-Qur’an menyebutkan term ini setidaknya sebanyak
empat kali yang mengacu kepada asal katanya dan sepuluh kali yang mengacu
kepada orang maupun derivasinya. Kata ini dipergunakan dalam pengertian yang
berlawanan dengan Islam, dalam hal ini dikaitkan dengan pengertian “ignorant of
God”. Ini artinya dalam masyarakat Arab telah ada kepercayaan religius dikalangan
mesyarakat Arab pra-Islam.
Bamyeh dalam bukunya The Social Originsof Islam: Mind, Economy,
Discourse (1999), membagi kehidupan religius masyarakat Arab pra-Islam dalam
tiga kategori yaitu paganisme, ahli kitabisme dan hanifisme. Sedangkan Henninger
dalam tulisannya Pre Islamic Beduin Religion (1981), terdapat enam kategori
kehidupan religius masyarakat Arab pra-Islam, yaitu fetishism, animism, menism,
totemism, astral triadism, dan monotheism.
Watt dalam bukunya Muhammad’s Mecca (1988), melalui
kajiannya terhadap Al-Qur’an dikombinasikan dengan sumber arkeologis dan
literal lain, menbgidentifikasikan adanya empat sistem kepercayaan religius
yang berkembang di Arab pra-Islam, yaitu:
1. Fatalisme
Menurut Watt,
awal mula munculnya kepercayaan ini berangkat dari adanya keyakinan bahwa waktu
atau masa adalah realitas objektif yang tidak terelakkan. Kepercayaan yang
fatalistik ini adalah sesuatu yang sangat memungkinkan dalam kehidupan
masyarakat Arab yang sebagian besar kondisi geografisnya berupa gurun pasir yang
ganas. Dalam kehidupan yang semacam ini tidak ada jaminan dan tidak bisa
diperkirakan apa yang akan terjadi pada seseorang. Maka tidaklah berlebihan
jika muncul kepercayaan bahwasannya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hidup ini merupakan produk dan ditentukan oleh waktu.
2. Paganisme
Kepercayaan
paganisme ini adalah realitas yang niscaya dalam masyarakat Arab. Menurut Watt,
di Jazirah Arab terdapat sepuluh Tuhan yang disembah. Kepercayaan terhadap
tuhan-tuhan ini dilatari oleh berbagai kepercayaan dan keyakinan bahwa
tuhan-tuhan itu bisa memberikan kesuburan bagi tanaman.
Rippin dalam
kaitannya dengan hal ini menjelaskan bahwasannya dalam masyarakat pagan Arab
berdasarkan bukti arkeologis, aktivitas ritual mereka tujukan untuk memohon
berkah, memohon kelimpahan yang diwujudkan dalam berbagai aktivitas ritual,
seperti ziarah, ritual makanan, dan kesucian personal.
3. Kepercayaan
kepada Allah sebagai Super Tuhan
Term “Allah”
dalam hazanah pemikiran religius masyarakat Arab pra-Islam bukan fenomena yang
asing. Konsep Allah dalam masyarakat Arab pra-Islam setidaknya mengandung
beberapa pengertian:
a. Sebagai Tuhan pencipta alam semesta (29:61),
b. Sebagai pemberi hujan dan kehidupan kepada
yang ada di muak bumi (29:63),
c. Digunakan dalam sumpah yang sakral (35:42 dan
16:38),
d. Sebagai objek penyembahan dari apa yang dapat
dikatakan sebagai monotheisme sementara (31:32 dan 29:65),
e. Sebagai Tuhan Ka’bah (106:1-3),
f. Sebagai Tuhan yang disembah melalui perantara
dewa-dewa lain (1:18, 39:3 dan 46:28).
4. Monotheisme
Rippin
menjelaskan dalam kaitannya dengan monotheisme masyarakat Arab pra-Islam
setidaknya terdapat tiga teori yang dimunculkan.
·
Monotheisme sebagai akibat pengaruh dari agama Yahudi.
·
Monotheisme merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
·
Monotheisme berkaitan dengan term “hanif”, agama yang
dibawa oleh Nabi Ibrahim.[12]
H. Kehidupan Intelektual
Sekalipun Jazirah Arabia, terutama Hijaz dan Najd, terpencil dari
dunia luar, namun mereka memiliki daya intelektual yang sangat cerdas. Bukti
dari kecerdasan mereka dapat dilihat pada berbagai peninggalan mereka, baik
dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Bukti kecerdasan akal mereka dalam
ilmu pengetahuan dan seni bahasa, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.
Ilmu Astronomi.
Bangsa kaidan (Babilon) adalah guru dunia bagi ilmu astronomi. Mereka telah
menciptakan ilmu astronomi dan membina asas-asasnya. Pada waktu tentara Persia
menyerbu negeri babilon, sebagian besar dari mereka termasuk ahli ilmu
astronomi mengungsi ke negeri-negeri Arab. Dari merekalah orang Arab
mempelajari ilmu astronomi.
2.
Ilmu Meteorologi.
Mereka menguasai ilmu cuaca atau ilmu iklim (meteorology) yang dalam istilah
mereka waktu itu disebut al-anwa wa mahabburriyah atau istilah bahasa Arab
modern disebut adh-dhawahirul jauwiyah.
3.
Ilmu Mitologi.
Ini semacam ilmu mengetahui beberapa kemungkinan terjadinya peristiwa (seperti
perang, damai, dan sebagainya), yang didasarkan pada bintang-bintang.
4.
Ilmu Tenung.
Ilmu tenung juga berkembang pada mereka, dan ilmu ini dibawa oleh bangsa Kaldan
(Babilon) ke Tanah Arab. Kemudian ilmu tenung berkembang sangat luas dalam
kalangan mereka.
5.
Ilmu Thib (kedokteran).
Ilmu thib ini berasal dari bangsa Kaldan (Babilon). Mereka mengadakan percobaan
penyembuhan orang-orang sakit, yaitu dengan menempatkan orang-orang sakit di
tepi jalan, kemudian mereka menannyakan kepada siapa pun yang melalui jalan
tersebut mengenai obatnya, lalu dicatat. Dengan percobaan terus-menerus
akhirnya mereka mendapat ilmu pengobatan bagi orang sakit.[13]
I. Bahasa Dan Seni
Bahasa
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab sebelum
Islam sangat maju. Bahasa mereka sangat indah dan maju. Syair-syair mereka
sangat banyak. Dalam lingkungan mereka para penyair sangat dihormati. Setiap
tahun di “Pasar Ukaz” diadakan deklamasi sajak yang sangat luas.
ü Khithabah
Khithabah (retorika) sangat maju, dan inilah
satu-satunya alat komunikasi yang sangat luas medannya. Di samping sebagai
penyair, bangsa Arab Jahiliyah pun sangat fasih berpidato dengan bahasa yang
sangat indah dan bersemangat. Ahli pidato mendapat derajat tinggi dalam masyarakat,
sama halnya dengan penyair.
ü Majlis Al-Adab dan Sauqu Ukaz
Telah menjadi kebiasaan masyarakat Arab
Jahiliyah, yaitu mengadakan majlis atau nadwah (klub), di tempat inilah mereka
mendeklemasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya.
Terkenallah dalm kalangan mereka “Nadi Quraiys” dan “Darun Nadwah” yang berdiri
di samping Ka’bah.
J. Catatan
Keturunan
Satu hal yang menjadi sangat penting bagi bangsa Arab
Jahiliyah, yaitu al-ansab atau catatan keturunan, yaitu untuk memelihara asal-usul
keturunan. Oleh karena itu, bangsa Arab pada umumnya menghafal silsilah
keturunannya, sampai sejauh-jauhnya.
K. Sejarah
(Al-Arabul Jahiliyatul Ula), Kata-kata “Arab Jahiliyah”
sering digunakan, namun sering pula pengertian mengenai “jahiliah” itu salah.
Terkadang ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Arab Jahiliah” yaitu
bangsa Arab yang bodoh. Pengertian ini jelas tidak tepat.[14]
Sebutan itu tidak perlu menyebabkan kita berkesimpulan
bahwa tidak seorangpun dari penduduk Jazirah Arab yang mampu membaca dan
menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan
menulis sebelum mereka masuk Islam. Baca tulis ketika itu belum menjadi
tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran
kepandaian dan kecendikian.
Akan tetapi, bangsa Arab terutama Arab bagian Utara
dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengubah
syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul di antaranya ditulis
untuk digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut di atas diketahui
bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi
pengaruh pada dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang
menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara,
seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair dan sebagainya.[15]
Seorang pujangga Arab Syria, Jarji Zaidan, membagi masa
jahiliah kepada dua masa, yaitu :
1. Arab jahiliah
pertama yaitu : pada zaman sebelum sejarah sampai abad kelima Masehi.
2.
Arab jahiliah kedua (Al-Arabul Jahiliyatuts Tsaniyah), yaitu dari
abad kelima Miladiah sampai lahirnya Islam.
Menurut Ahmad Amin, jahiliah bukanlah jahl yang berarti
“tiada ilmu”, namun jahl dalam pengertian safah, ghadhab, anfah (sedai,
berang, tolol). Jadi, lebih tepatnya, jahiliah yang dimaksud adalah jahliyah (bodoh) dalam hal menerima
kebenaran ajaran agama yang lurus dan benar.[16]
Pada masa Jahiliyah, belum dikenal apa yang dinamakan
dengan tulisan sejarah dalam pengertian sebenarnya, termasuk kalangan penduduk
negeri yang dianggap sudah berperadaban (al-buldan al-mutahadhdhirah)
yang diduga bahwa mereka cukup mempunyai perhatian terhadap upaya
mempertahankan dan menulis tentang kehidupan dan kemajuan yang mereka capai.
Sejarah Arab sebelum Islam yang paling dapat dipercaya
adalah tinggalan-tingalan arkeologis yang masih dapat ditemukan di Yaman,
Hadhramaut, sebelum utara Hijaz dan sebelah selatan Syiria. Satu-satunya yang
dapat diketahui adalah penggalan-penggalan sejarah yang terdapat di
gereja-gereja di Hirah, yang kemudian dikaji oleh al-Kalbi, sejarawan muslim
kemudian.
Namun , tidak ada jalan lain untuk mengetahui secara
mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk Jazirah Arab pada masa
jahiliyah itu, perhatian harus diarahkan kepada tradisi lisan itu. Orang-orang
Arab sebelum Islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah
lisan itu. Itulah yang disebut dengan al-Ayyam (arti semantiknya adalah
hari-hari penting) dan al-Ansab (artinya silsilah).[17]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam sering disebut dengan masyarakat
jahiliyah (bodoh). Bodoh di sini adalah masyarakat yang bodoh dalam hal
agamanya bukan bodoh dalam arti sebenarnya.
Kondisi politik Arab sebelum Islam dipenuhi dengan perebutan kekuasaan dari
kerajaan-kerajaan yang ada di zaman itu. Dalam hal agama, masyarakat Arab
sebelum Islam sudah memiliki agama masing-masing.
Ekonomi pada masa itu banyak penduduk yang bekerja sebagai pedagang.
Kondisi intelektual masyarakat pada masa itu sangat maju, karena menghasilkan
banyak ilmu pengetahuan. Bahasa dan seni masyarakat Arab juga sangat maju
dibuktikan dengan banyaknya penyair di Jazirah Arab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy,
Ahmad. 2011. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media.
Amin,
Samsul Munir. 2010. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Esha, Muhammad In’am.
2011. Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam. Malang:
UIN Maliki Press.
Fatikhah. 2011.
Sejarah Peradaban Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Yatim, Badri. 1997.
Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Comments
Post a Comment