KONDISI MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM

SEJARAH PERADABAN ARAB PRA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Zaman sebelum ada Islam sering disebut dengan zaman jahiliyah. Masyarakat Arab sebelum Islam sering kita sebut dengan masyarakat jahiliyah. Di sini kita sering mengartikan bahwa masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang bodoh. Tapi, kita perlu meluruskan maksud dari kata bodoh di sini. Bodoh dalam hal ini bukan berarti bodoh dalam hal ilmu pengetahuan, tidak bisa menulis dan membaca, karena masyarakat Arab sebelum Islam merupakan masyarakat yang pandai dalam membuat syair. Jadi bodoh yang dimaksud di sini adalah bodoh dalam hal agama dan perilaku.
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam dikenal sebagai bangsa yang memiliki kemajuan ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota dagang yang sudah bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan posisinya yang strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai masyarakat Arab sebelum Islam, baik itu dari segi sosial, politik, budaya, agama, dan sebagainya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keadaan sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, dan agama bangsa Arab sebelum islam?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pentingnya Memahami Kondisi Arab Pra Islam
Pertama-tama yang dimaksud Islam di sini adalah Islam yang ajarannya diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW secara historis sosiologis disampaikan dalam konteks masyarakat Arab yang tidak hampa. Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam upaya memahami Islam secara holistik dan komprehensif adalah dengan memiliki pengetahuan terhadap realitas historis masyarakat di mana Islam diturunkan. Hal ini tidak lain karena dalam realitasnya Islam tidaklah diturunkan dalam ruang interaksi dinamis dengan kondisi di sekelilingnya.
Islam muncul tidak lain merupakan sebuah upaya masif untuk memberikan jawaban terhadap problem-problem kemanusiaan baik yang menyangkut keyakinan, sosial, politik, ekonomi yang sedang melingkupi masyarakar Arab pada saat itu.
Aspek historis dalam Islam mempunyai posisi yang sangat penting. Banyak sekali keilmuan-keilmuan Islam yang sangat berkaitan dengan aspek ini, sebut saja sebagai misal ilm asbab al-nuzul, ilm al-asbab al-wurud, israilliyat, dan sebagainya. Keilmuan-keilmuan yang menjadi basis dan pedoman ajaran Islam dapat dikatakan tidak dapat menafikan aspek yang satu ini.
Pemahaman konteks masyarakat sebelum kedatangan islam, memiliki peran penting setidaknya sebagai wahana kita memahami bahwa hadirnya islam memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan. Meskipun dalam beberapa hal ajaran-ajaran islam memiliki kesinambungan dengan ajaran yang diturunkan kepada Nabi sebelumnya, namun bisa dipastikan bahwa ajaran Islam memiliki kontribusi yang penting dalam membangun peradaban manusia.[1]
B.     Keadaan Negeri Arabia
Secara geografis, Jazirah Arab terletak antara benua Asia dan Afrika, tepatnya di bagian barat daya Asia. Secara bahasa Jazirah berarti pulau atau semenanjung sedang Arab adalah padang pasir, tanah yang tandus tanpa ada air. Jadi Jazirah Arab adalah pulau/semenanjung padang pasir yang tandus, gersang dan udaranya sangat panas serta tidak ada satu sungaipun yang mengalir di wilayah ini.
Berdasarkan keadaan alam yang beraneka ragam, para ahli geografi membagi Jazirah Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Arab Petrix (Petraea), yaitu daerah yang terletak di sebelah barat daya gurun Syiria, dengan Petra sebagai ibukotanya.
2.      Arab Deserta, sebuah nama yang diberikan kepada gurun Syiria itu sendiri.
3.      Arab Felix, yaitu daerah Yaman, disebut juga daerah hijau (green land).
Sedangkan bila ditinjau dari keadaan tanah, Jazirah Arab dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1.      Thihamah, yaitu daerah yang sangat panas udaranya.
2.      Hujaz, yaitu daerah pemisah antara Thihamah dan Najd.
3.      Najd, yaitu wilayah dataran tinggi.
4.      Yaman, yaitu wilayah yang membentang darii Najd sampai Samudra Hindia dan Laut Merah, dan terhubung sampai Oman sebelah timur.
5.      ‘Arudl, daerahnya melebar dari Yaman, Najd hingga Irak.[2]
Adapun ahli sejarah membagi penduduk Jazirah Arab sebagai berikut:
1.      Arab Baidah (bangsa Arab yang telah punah)
Yaitu orang-orang Arab yang telah lenyap jejaknya dan tidak diketahui lagi, kecuali karena tersebut dalam kitab-kitab suci, seperti kaum ‘Ad dan Samud.[3]
Nabi-nabi Allah yang diutus kepada Arab Baidah adalah sebagai berikut:
a.       Nabi Hud a.s
b.      Nabi Saleh a.s
c.       Nabi Syi’aib a.s[4]
2.      Arab Baqiyah (bangsa Arab yang masih lestari)
Dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
a.       Arab Aribah, yaitu kelompok Qahthan, dan tanah air mereka yaitu Yaman.
b.      Arab Musta’rabah, mereka adalah sebagian besar penduduk Arabia, dari dusun sampai ke kota, yaitu mereka yang mendiami bagian tengah Jazirah Arabia dan Negeri Hijaz sampai ke Lembah Syiria.[5]
C.    Sejarah Politik Arab Sebelum Islam
1.      Kabilah-kabilah Badui (pedalaman)
Orang-orang Badui hidup sebagai kabilah-kabilah kecil yang terpencar di dusun-dusun. Kesatuan kabilah-kabilah itu diikat oleh ikatan darah dan fanatisme. Maka, sangatlah sulit membangun ikatan di antara sejumlah besar kabilah itu untuk bisa membangun sebuah kerajaan.
2.      Kerajaan Kindah (480-529 M)
Satu-satunya kerajaan yang berdiri di tengah-tengah Jazirah Arab. Namun, kerajaan ini berumur sangat pendek. Raja pertama kerajaan ini bernama Hajar Akil al-Mirar. Dia tunduk di bawah kerajaan Himyar di Yaman.
3.      Kerajaan-kerajaan di Perkotaan
a.      Kerajaan-kerajaan di Yaman
1)      Kerajaan Ma’in dan Kerajaan Qatban (1200 SM-700 SM)
Kedua kerajaan ini hidup di satu zaman. Keduanya adalah kerajaan paling awal di Yaman.
2)      Kerajaan Saba’ (955 SM-115 SM)
Berdiri setelah runtuhnya kerajaan Ma’in dan Qatban. Kerajaan Saba’ juga meliputi Hadharamaut. Ibukotanya adalah Ma’rab. Kerajaan ini menjadi terkenal disebabkan dua hal, yaitu Ratu Bilqis dan bendungan Ma’rab yang besar.
3)      Kerajaan Himyar
Berdiri setelah runtuhnya kerajaan Saba’ dan menjadikan Zhafar sebagai ibukotanya. Raja-rajanya menggelari dirinya dengan Thababi’ah. Saba’ dan Himyar meninggalkan peninggalan-peninggalan yang menunjukkan keagungan kemajuan yang dicapai dua kerajaan ini.[6]
b.      Kerajaan-kerajaan di Utara Jazirah Arab
1)      Kerajaan Anbath (400 SM-105 SM)
Mereka adalah kebilah yang berada di pedalaman yang berdiam di bagian selatan Suriah. Kerajaan mereka terentang dari Gaza di bagian selatan hingga Aqabah di bagian utara. Ibukotanya adalah Betra’.
2)      Kerajaan Tadmur
Kerajaan ini dikenal makmur di masa klasik. Masa keemasannya dicapai pada abad II dan III Masehi. Kerajaan ini memiliki posisi gografi yang strategis dalam bisnis yang mwnghubungkan antara dua empirium Romawi dan Persia.
3)      Kerajaan Hirah
Mereka adalah orang-orang Arab yang melakukan hijrah. Kerajaan mereka berdiri di sebalah utara Jazirah Arab (bagian selatan Irak) dan berada di bawah kekuasaan Persia.
4)      Kerajaan Ghassan
Merekia berasal dari orang Arab asal Yaman yang melakukan hijrah setelah runtuhnya bendungan Ma’rab-seperti Munadzarah Hirah. Mereka diam di wilayah pedalaman Syam dan berada di bawah kekuasaan Romawi yang memberi perlindungan kepada mereka dari serangan orang-orang Arab.
c.       Hijaz
Hijaz adalah tempat pertama dakwah Islam. Di tempat ini Rasulullah lahir dan berkembang. Hijaz adalah tempat diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Tempat ini adalah tempat munculnya nur dan cahaya. Dari Hijazlah bergemuruh suara reformasi dan dakwah Islam. Islam telah mentransformasikan Hijaz dari sebuah tempat yang hanya disebut Arab menjadi sebuah tempat yang menginternasional.[7]
D.    Kondisi Sosial Politik
Kondisi sosial politik di dunia sebelum kedatangan Islam diwarnai oleh berbagai intrik politik perebutan pengaruh diantara tiga kekuatan dunia saat itu yaitu pertama, Kristen Byzantium yang berpengaruh kuat di sekitar Laut Merah bahkan sampai di Abisinia; kedua, Persia Zoroater, dengan ibu kota di Ctesiphon di Mesopotamia dan pengaruhnya mencapai sebelah Timur Arabia dan sepanjang Pantai Selatan Yaman; dan ketiga, Kerajaan Arab Selatan di bawah kekuasaan Dinasti Himyar. Ketiga kekuatan politik inilah yang secara masif memberi pengaruh terhadap kondisi dan peta sosial politik di Jazirah Arab.
Susana sosial politik Arab yang selalu diwarnai oleh perebutan kekuasaan dan pengaruh di antara suku-suku Arab menjadi semakin kompleks dengan adanya persaingan dalam konteks keagamaan.
Secara lebih khusus, dengan paradigma al-Qur’an, Watt melihat bahwasannya pada masyarakat Arab menjelang kedatangan Islam tidak dapat digolongkan rendah. Beberapa hal yang patut dicatat mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi sebelum datangnya islam dan membawa pengaruh dalam pembentukan tradisi islam.
1.      Mekkah sebagai pusat perekonomian
Mekkah menjadi pusat perekomian disebabkan oleh posisi geografisnya yang berada di tengah rute perjalanan dagang ditambah lagi di Mekkah juga ada jaminan keselamatan.
2.      Perilaku terhadap harta benda
Al-Qur’an dengan gamblang menjelaskan terhadap fenomena ini. Misalnya QS 104:1-3 menyebutkan bahwa para pembangkang yang senantiasa memfitnah dan mencela Nabi adalah mereka yang tidak hanya menumpuk harta tetapi juga beranggapan jika harta benda yang mereka kumpulkan itu akan menjadikan mereka abadi. Bahkan mereka juga beranggapan jika harta mereka mampu menyelamatkan mereka dari bencana (QS. 6:69).
3.      Pengetahuan tentang Yahudi dan Nasrani
Dikalangan masyarakat Arab kontak dengan Yahudi dan Nasrani adalah sesuatu yang niscaya. Hal ini tidak lain karena adanya perjalanan dagang ke kota-kota Nasrani seperti Damaskus dan Gaza. Penganut kristen terdapat juga di Mekkah, sementara Yahudi terdapat di Madinah seperti Suku Qoinuqa.[8]
E.     Kondisi Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial ekonomi bangsa Arab menjelang lahirnya Islam sangat ditentukan oleh kondisi dan letak geografis wilayahnya. Bagi masyarakat Arab pedalaman (Ahlul Badui/Badiyah) hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain mencari tempat yang subur, mereka bertani dan beternak. Dalam mengelola pertanian para pemilik ladang memakai tiga sistem, yaitu:
1.      Sistem sewa dengan emas atau logam mulia yang lain, gandum atau hasil pertanian yang lain sebagai alat pembayaran.
2.      Sistem bagi hasil.
3.      Sistem pandega.
Sedang yang hidup di perkotaan (Ahlul Hadloroh) mayoritas mereka berdagang. Penduduk Saba’ dan Yaman adalah yang ahli dalam bidang perdagangan. Aktivitas berdagang mereka hingga Jazirah Arab. Di sisi lain ada sebuah wilayah yang menjadi saingan Yaman, yaitu kota Mekah. Mekah merupakan wilayah yang memiliki letak strategis dalam kegiatan berdagang.[9] Masyarakat Quraisy berdagang sepanjang tahun. Di musim dingin mereka mengirim kafilah dagang ke Yaman, sedangkan di musim panas  kafilah dagang mereka menuju ke Syiria. Perdagangan yang paling ramai di Kota Mekah yaitu selama musim “Pasar Ukaz”, yaitu pada bulan Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram.[10]
F.     Kondisi Sosial Budaya
Jazirah Arab adalah daerah yang sangat gersang. Oleh sebab itu watak dan karakter penduduknya sangat keras. Di samping karena faktor geografis, watak merekapun terbentuk karena pola hidup yang selalu berpindah-pindah (nomaden). Untuk itu dubutuhkan mental dan fisik yang kuat guna melindungi diri dan kelompoknya dari segala hal yang membahayakan. Kegersangan daerah ini membuat bangsa-bangsa lain  enggan untuk melakukan perjalanan ke sana.  Faktor ini menjadikan bangsa Arab bangsa yang tidah tersentuh budaya dan pengaruh dari luar. [11]
G.    Kondisi Religius
Menurut Rippin, periode pra-Islam adalah sebuah era yang berbeda dalam waktu dan etos Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya term “Jahiliyyah” yang dikenal dalam Islam. Al-Qur’an menyebutkan term ini setidaknya sebanyak empat kali yang mengacu kepada asal katanya dan sepuluh kali yang mengacu kepada orang maupun derivasinya. Kata ini dipergunakan dalam pengertian yang berlawanan dengan Islam, dalam hal ini dikaitkan dengan pengertian “ignorant of God”. Ini artinya dalam masyarakat Arab telah ada kepercayaan religius dikalangan mesyarakat Arab pra-Islam.
Bamyeh dalam bukunya The Social Originsof Islam: Mind, Economy, Discourse (1999), membagi kehidupan religius masyarakat Arab pra-Islam dalam tiga kategori yaitu paganisme, ahli kitabisme dan hanifisme. Sedangkan Henninger dalam tulisannya Pre Islamic Beduin Religion (1981), terdapat enam kategori kehidupan religius masyarakat Arab pra-Islam, yaitu fetishism, animism, menism, totemism, astral triadism, dan monotheism.
Watt dalam bukunya Muhammad’s Mecca (1988), melalui kajiannya terhadap Al-Qur’an dikombinasikan dengan sumber arkeologis dan literal lain, menbgidentifikasikan adanya empat sistem kepercayaan religius yang berkembang di Arab pra-Islam, yaitu:
1.      Fatalisme
Menurut Watt, awal mula munculnya kepercayaan ini berangkat dari adanya keyakinan bahwa waktu atau masa adalah realitas objektif yang tidak terelakkan. Kepercayaan yang fatalistik ini adalah sesuatu yang sangat memungkinkan dalam kehidupan masyarakat Arab yang sebagian besar kondisi geografisnya berupa gurun pasir yang ganas. Dalam kehidupan yang semacam ini tidak ada jaminan dan tidak bisa diperkirakan apa yang akan terjadi pada seseorang. Maka tidaklah berlebihan jika muncul kepercayaan bahwasannya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup ini merupakan produk dan ditentukan oleh waktu.
2.      Paganisme
Kepercayaan paganisme ini adalah realitas yang niscaya dalam masyarakat Arab. Menurut Watt, di Jazirah Arab terdapat sepuluh Tuhan yang disembah. Kepercayaan terhadap tuhan-tuhan ini dilatari oleh berbagai kepercayaan dan keyakinan bahwa tuhan-tuhan itu bisa memberikan kesuburan bagi tanaman.
Rippin dalam kaitannya dengan hal ini menjelaskan bahwasannya dalam masyarakat pagan Arab berdasarkan bukti arkeologis, aktivitas ritual mereka tujukan untuk memohon berkah, memohon kelimpahan yang diwujudkan dalam berbagai aktivitas ritual, seperti ziarah, ritual makanan, dan kesucian personal.
3.      Kepercayaan kepada Allah sebagai Super Tuhan
Term “Allah” dalam hazanah pemikiran religius masyarakat Arab pra-Islam bukan fenomena yang asing. Konsep Allah dalam masyarakat Arab pra-Islam setidaknya mengandung beberapa pengertian:
a.       Sebagai Tuhan pencipta alam semesta (29:61),
b.      Sebagai pemberi hujan dan kehidupan kepada yang ada di muak bumi (29:63),
c.       Digunakan dalam sumpah yang sakral (35:42 dan 16:38),
d.      Sebagai objek penyembahan dari apa yang dapat dikatakan sebagai monotheisme sementara (31:32 dan 29:65),
e.       Sebagai Tuhan Ka’bah (106:1-3),
f.       Sebagai Tuhan yang disembah melalui perantara dewa-dewa lain (1:18, 39:3 dan 46:28).
4.      Monotheisme
Rippin menjelaskan dalam kaitannya dengan monotheisme masyarakat Arab pra-Islam setidaknya terdapat tiga teori yang dimunculkan.
·         Monotheisme sebagai akibat pengaruh dari agama Yahudi.
·         Monotheisme merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.
·         Monotheisme berkaitan dengan term “hanif”, agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.[12]
H.    Kehidupan Intelektual
Sekalipun Jazirah Arabia, terutama Hijaz dan Najd, terpencil dari dunia luar, namun mereka memiliki daya intelektual yang sangat cerdas. Bukti dari kecerdasan mereka dapat dilihat pada berbagai peninggalan mereka, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Bukti kecerdasan akal mereka dalam ilmu pengetahuan dan seni bahasa, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.      Ilmu Astronomi. Bangsa kaidan (Babilon) adalah guru dunia bagi ilmu astronomi. Mereka telah menciptakan ilmu astronomi dan membina asas-asasnya. Pada waktu tentara Persia menyerbu negeri babilon, sebagian besar dari mereka termasuk ahli ilmu astronomi mengungsi ke negeri-negeri Arab. Dari merekalah orang Arab mempelajari ilmu astronomi.
2.      Ilmu Meteorologi. Mereka menguasai ilmu cuaca atau ilmu iklim (meteorology) yang dalam istilah mereka waktu itu disebut al-anwa wa mahabburriyah atau istilah bahasa Arab modern disebut adh-dhawahirul jauwiyah.
3.      Ilmu Mitologi. Ini semacam ilmu mengetahui beberapa kemungkinan terjadinya peristiwa (seperti perang, damai, dan sebagainya), yang didasarkan pada bintang-bintang.
4.      Ilmu Tenung. Ilmu tenung juga berkembang pada mereka, dan ilmu ini dibawa oleh bangsa Kaldan (Babilon) ke Tanah Arab. Kemudian ilmu tenung berkembang sangat luas dalam kalangan mereka.
5.      Ilmu Thib (kedokteran). Ilmu thib ini berasal dari bangsa Kaldan (Babilon). Mereka mengadakan percobaan penyembuhan orang-orang sakit, yaitu dengan menempatkan orang-orang sakit di tepi jalan, kemudian mereka menannyakan kepada siapa pun yang melalui jalan tersebut mengenai obatnya, lalu dicatat. Dengan percobaan terus-menerus akhirnya mereka mendapat ilmu pengobatan bagi orang sakit.[13]
I.       Bahasa Dan Seni Bahasa
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, bangsa Arab sebelum Islam sangat maju. Bahasa mereka sangat indah dan maju. Syair-syair mereka sangat banyak. Dalam lingkungan mereka para penyair sangat dihormati. Setiap tahun di “Pasar Ukaz” diadakan deklamasi sajak yang sangat luas.
ü  Khithabah
Khithabah (retorika) sangat maju, dan inilah satu-satunya alat komunikasi yang sangat luas medannya. Di samping sebagai penyair, bangsa Arab Jahiliyah pun sangat fasih berpidato dengan bahasa yang sangat indah dan bersemangat. Ahli pidato mendapat derajat tinggi dalam masyarakat, sama halnya dengan penyair.
ü  Majlis Al-Adab dan Sauqu Ukaz
Telah menjadi kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah, yaitu mengadakan majlis atau nadwah (klub), di tempat inilah mereka mendeklemasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya. Terkenallah dalm kalangan mereka “Nadi Quraiys” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di samping Ka’bah.
J.      Catatan Keturunan
Satu hal yang menjadi sangat penting bagi bangsa Arab Jahiliyah, yaitu al-ansab atau catatan keturunan, yaitu untuk memelihara asal-usul keturunan. Oleh karena itu, bangsa Arab pada umumnya menghafal silsilah keturunannya, sampai sejauh-jauhnya.
K.    Sejarah
(Al-Arabul Jahiliyatul Ula), Kata-kata “Arab Jahiliyah” sering digunakan, namun sering pula pengertian mengenai “jahiliah” itu salah. Terkadang ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Arab Jahiliah” yaitu bangsa Arab yang bodoh. Pengertian ini jelas tidak tepat.[14]
Sebutan itu tidak perlu menyebabkan kita berkesimpulan bahwa tidak seorangpun dari penduduk Jazirah Arab yang mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Baca tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran kepandaian dan kecendikian.
Akan tetapi, bangsa Arab terutama Arab bagian Utara dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengubah syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul di antaranya ditulis untuk digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastra tersebut di atas diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair dan sebagainya.[15]
Seorang pujangga Arab Syria, Jarji Zaidan, membagi masa jahiliah kepada dua masa, yaitu :
1.      Arab jahiliah pertama yaitu : pada zaman sebelum sejarah sampai abad kelima Masehi.
2.      Arab jahiliah kedua (Al-Arabul Jahiliyatuts Tsaniyah), yaitu dari abad kelima Miladiah sampai lahirnya Islam.
Menurut Ahmad Amin, jahiliah bukanlah jahl yang berarti “tiada ilmu”, namun jahl dalam pengertian safah, ghadhab, anfah (sedai, berang, tolol). Jadi, lebih tepatnya, jahiliah yang dimaksud adalah  jahliyah (bodoh) dalam hal menerima kebenaran ajaran agama yang lurus dan benar.[16]
Pada masa Jahiliyah, belum dikenal apa yang dinamakan dengan tulisan sejarah dalam pengertian sebenarnya, termasuk kalangan penduduk negeri yang dianggap sudah berperadaban (al-buldan al-mutahadhdhirah) yang diduga bahwa mereka cukup mempunyai perhatian terhadap upaya mempertahankan dan menulis tentang kehidupan dan kemajuan yang mereka capai.
Sejarah Arab sebelum Islam yang paling dapat dipercaya adalah tinggalan-tingalan arkeologis yang masih dapat ditemukan di Yaman, Hadhramaut, sebelum utara Hijaz dan sebelah selatan Syiria. Satu-satunya yang dapat diketahui adalah penggalan-penggalan sejarah yang terdapat di gereja-gereja di Hirah, yang kemudian dikaji oleh al-Kalbi, sejarawan muslim kemudian.
Namun , tidak ada jalan lain untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk Jazirah Arab pada masa jahiliyah itu, perhatian harus diarahkan kepada tradisi lisan itu. Orang-orang Arab sebelum Islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan itu. Itulah yang disebut dengan al-Ayyam (arti semantiknya adalah hari-hari penting) dan al-Ansab (artinya silsilah).[17]




BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam sering disebut dengan masyarakat jahiliyah (bodoh). Bodoh di sini adalah masyarakat yang bodoh dalam hal agamanya bukan bodoh dalam arti sebenarnya.
Kondisi politik Arab sebelum Islam dipenuhi dengan perebutan kekuasaan dari kerajaan-kerajaan yang ada di zaman itu. Dalam hal agama, masyarakat Arab sebelum Islam sudah memiliki agama masing-masing.
Ekonomi pada masa itu banyak penduduk yang bekerja sebagai pedagang. Kondisi intelektual masyarakat pada masa itu sangat maju, karena menghasilkan banyak ilmu pengetahuan. Bahasa dan seni masyarakat Arab juga sangat maju dibuktikan dengan banyaknya penyair di Jazirah Arab.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad. 2011. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media.
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Esha, Muhammad In’am. 2011. Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UIN Maliki Press.
Fatikhah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Yatim, Badri. 1997. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.






[1] Muhammad In’am Esha, Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm, 58-59
[2] Fatikhah, Sejarah Peradaban Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm, 23-24
[3] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm, 55-56
[4] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media, 2011),  hlm, 59-61
[5] Samsul Munir Amin, Op.Cit, hlm, 56
[6] Ahmad Al-Usairy, Op.Cit, hlm, 63-65
[7] Ibid, hlm, 67-69
[8] Muhammad In’am Esha, Op.Cit, hlm, 59-62
[9] Fatikhah, Op.Cit, hlm, 40-41
[10] Samsul Munir Amin, Op.Cit, hlm, 59
[11] Fatikhah, Op.Cit, hlm, 43
[12] Muhammad In’am Esha, Op.Cit, hlm, 63-68
[13] Samsul Munir Amin, Op.Cit, hlm, 59-60
[14] Ibid, hlm, 60-62
[15] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm, 27
[16] Samsul Munir Amin, Op.Cit, hlm, 62
[17] Badri Yatim, Op.Cit, hlm, 28-29

Comments

Popular posts from this blog

KEDUDUKAN WANITA MASA JAHILIAH, SETELAH DATANGNYA ISLAM, DAN MASA SEKARANG

Mengapa janda lebih banyak dari duda